Entri Populer

Minggu, 24 Juli 2011

ANALISIS PUISI “YA ALLAH, MEREKA BERPERANG” KARYA FRANS NADJIRA
KAJIAN HERMENEUTIKA DENGAN TEORI METAFORA DAN SIMBOL
                                                               
TUGAS AKHIR SEMESTER




Disusun Oleh:

Nama: Nasrudin
Nim : 0903294
Kelas:E


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2011

PENGANTAR

Puisi adalah salah satu genre atau jenis sastra. Seringkali istilah “puisi” disamakan dengan “sajak”. Akan tetapi, sebenarnya tidak sama, puisi itu merupakan jenis sastra yang melingkupi sajak, sedangkan sajak adalah individu puisi. Dalam istilah bahasa Inggrisnya puisi adalah poetry dan sajak adalah poem. Memang sebelum ada istilah puisi, istilah sajak untuk menyebut juga jenis sastranya (puisi) ataupun individu sastranya (sajak).
Memahami makna puisi atau sajak tidaklah mudah, lebih-lebih pada waktu sekarang, puisi semakin kompleks dan “aneh”. Jenis sastra puisi lain dari jenis sastra prosa. Prosa tampaknya lebih mudah dipahami maknanya daripada puisi.hal ini disebabkan oleh bahasa prosa itu merupakan ucapan yang “tidak biasa”. Biasa atau tidak biasa  itu bila keduanya dihubungkan dengan tata bahasa normatif. Biasanya prosa itu mengikuti atau sesuai dengan struktur bahasa normatif, sedangkan puisi itu biasanya menyimpang dari tata bahasa normatif.  
Puisi itu suatu artefak yang baru mempunyai makna bila diberi makna oleh pembaca. Akan tetapi, pemberian makna itu tidak boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan atau dalam kerangka semiotik (semiotik/ sistem tanda) Karena karya sastra itu merupakan sistem tanda atau semiotik. 
Di samping itu, puisi adalah struktur yang kompleks. Puisi itu mempergunakan banyak sarana kepuitisan secara bersama-sama untuk mendapatkan jaringan efek sebanyak-banyaknya (Altenbernd, 1970: 4-5). Karena puisi itu merupakan struktur yang kompleks maka untuk memahaminya (atau untuk memberi makna) harus dianalisis (Hill, 1966: 6). Dengan analisis itu akan diketahui unsur-unsurnya yang bermakna atau yang harus diberi makna.
Semoga sumbangan pikiran ini bermanfaat bagi masyarakat dan kemajuan ilmu sastra Indonesia.






ii
DAFTAR ISI

PENGANTAR                                                                                                          ii
DAFTAR ISI                                                                                                             iii
1 PENDAHULUAN                                                                                                             1
1.1 Latar Belakang Masalah
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Analisis
1.4 Landasan Teori
1.4.1 Konsep Interpretasi Teks Paul Ricoeur
1.4.2 Teori Metafora
1.4.3 Teori Simbol
1.4.4 Metode Analisis
II PEMBAHASAN
            2.1 Analisis dan Hasil Pembahasan
Puisi “Ya Allah, Mereka Berperang” karya Frans Nadjira
            2.1.1 Simbol Cahaya dalam Sajak “Ya Allah, Mereka Berperang”
Simbol Cahaya Langit
                        2.1.3 Konsep Mistisisme Cahaya
III KESIMPULAN
IV DAFTAR PUSTAKA
           











iii
I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH
Puisi merupakan penggambaran ekspresi seorang pengarang tentang apa yang dirasakan, dilihat ataupun didengar begitu juga apa yang ada dalam khayalannya. Setiap puisi tercipta dengan tangan-tangan yang mampu mencapai kesempurnaan dalam berfikir.
Sastra merupakan hasil karya manusia baik lisan maupun tulisan yang menggunakan bahasa sebagai pengantar dan mempunyai nilai estetik yang dominan. Puisi termasuk karya sastra. Puisi menurut H.B Jassin adalah pengucapan dengan perasaan yang di dalamnya mengandung pikiran-pikiran dan tanggapan-tanggapan. Puisi mengekspresi pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indra dalam susunan yang berirama (Pradopo, 2007:7). Dengan begitu dapat dikatakan puisi merupakan jenis sastra yang di dalamnya mengandung sistem tanda yang bermakna dengan bahasa sebagai medium.
Seorang penyair menulis puisi untuk mengekspos yang tak terekspos. Penyair bukan dia yang sekedar memindah-mindahkan perabot dalam ruangan yang ia sendiri telah berada di dalamnya. Puisi ditulis bukan untuk melayani keumuman dan kemubadziran. Jika dihadapan seorang penyair terbentang pintu yang ia dilarang memasukinya, maka masuklah ia ke sana. Sebagai sosok kreator, warga terpilih dunia kreatif, justru menjadi tugasnya yang utama untuk maju menguakkan pintu tertutup dan melongok ke dunia di sebaliknya. Terlebih bila pintu itu tertutup lantaran orang kebanyakan tak biasa, tak bisa, tak kuasa atau tak berani, menyingkapnya.
Penyair musti menemukan yang tak terucap, kemudian mengucapkannya dalam jalinan kata-kata. Bukan sembarang kata, melainkan hanya yang terpilih. Segugusan kata-kata yang terberkahi “daya magis” oleh arus tenaga kreatif yang menggelak dalam dirinya: puisi.
Tak heran bagi seorang seperti Frans Nadjira, misteri yang memanggil dari “dunia di balik pintu” merupakan jantung penciptaan puisi. Roh yang menggerakkan pusaran energi kreatif. Puisi adalah wahana paling ampuh untuk mengungkapkan misteri kehidupan. Dalam upayanya untuk mengatakan apa yang tidak terkatakan, penyair merobek topeng-topeng realitas, menembus selubungnya yang transparan, demi meraih suatu visi yang lebih tajam tentang makna kehidupan. Seorang penyair seperti Frans tidak pernah menerima realitas sebagaimana apa adanya begitu saja, dan menyalinnya ke dalam teks. Justru sebaliknya, dengan berpuisi ia tidak mungkin lain kecuali melakukan proses poesis: penciptaan “realitas baru” yang takkan pernah ada sebelum ditulis oleh penyair.
Realitas tekstual yang terlahir dari tangan sang penyair bukan sekedar mencerminkan, namun menerangi, memperkaya bahkan menantang, realitas di luar teks.
Itulah sebabnya, di balik struktur bahasanya yang terkesan sederhana, puisi Frans bukanlah tempat penyederhaan dan simplifikasi. Puisi-puisi itu seakan terus-menerus mengingatkan bahwa dunia yang kita kenal selama ini (termasuk bahasa) sesungguhnya tidak pernah sesederhana yang kita sangka. Segala ihwal terlebur dalam suatu kompleksitas yang rumit, misterius dan menantang. Dan puisi adalah perjalanan perih menyusuri jantung kompleksitas itu, ketika hidup menuntut penghayatan intens dan bukan sekadar tamasya untuk mereguk panorama permukaan dan kedangkalan.
Dengan berbagai cara, puisi Frans tampak menunjukkan obsesi terhadap pelbagai misteri kehidupan di sekitar problem eksistensial yang merundung kemanusiaan, baik manusia sebagai pribadi maupun umat. Sejumlah besar puisi Frans, terutama dari periode penciptaan yang awal, amat pekat dengan perenungan tentang maut-momok dan problem eksistensial terbesar manusia, sesuatu  yang sejak dahulu kala terus-menerus mengusik pikiran manusia dan telah melahirkan tak terhitung mitologi, seni dan filsafat.
Kesadaran tentang tragika nasib manusia sering terasa menggetarkan ketika muncul dalam medan daya hayat yang bergelora mengafirmasi kehidupan. Dalam puisi-puisi Frans, tak jarang maut seolah melenggang di antara kelembutan kasih sayang, suatu kualitas mental yang justru aktif menerakan nilai positif kepada hidup. Harapan akan kehidupan damai di antara umat manusia terasa hadir dengan terang dan meyakinkan dalam puisi yang disesaki aroma maut, mesti itu disampaikan secara implisit melalui bahasa lambang.
Pertempuran tragis antara kehidupan dan kematian, misalnya, seringkali disuarakan Frans dalam gambaran peristiwa yang menyedihkan dan mengoyakkan hati nurani.
Seiring perjalanan waktu, tampak adanya perkembangan yang cukup signifikan pada visi Frans terhadap realitas yang dikomunikasikan melalui puisi. Karya-karya dari periode penciptaan yang terdahulu menunjukkan perhatian kuat kepada dimensi esoteris problem-problem eksistensial yang dilihat dari perspektif yang amat personal. Tema-tema eksistensi seperti maut, kehampaan, kesia-siaan dan keterasingan manusia, dijelajahi Frans dalam bahasa simbolisme yang cenderung pekat, tak jarang bernuansa surealitas bahkan mistis.
Namun, secara beangsur-angsur, visi personal Frans makin berkurang intensitasnya. Ungkapan dalam puisi-puisinya yang lebih kemudian makin transparan, bergerak memasuki dimensi eksoterik problem-problem eksistensial universal yang gejalanya dapat diamati secara kasat mata dalam sejarah. Ruang kesadaran ruang personal penyair seakan-akan mengalami transformasi menjadi ruang kesadaran kolektif. Renungan pribadi yang liris makin tergeser oleh refleksi intelektual atas kondisi kemanusiaan yang tidak kondusif terhadap keberlangsungan eksistensi manusia itu sendiri.

1.2 RUMUSAN MASALAH
Permasalahan dalam analisis ini mencakup (1) metafora dalam puisi Ya Allah, Mereka Berperang, (2) simbol dalam puisi Ya Allah, Mereka Berperang, (3) konsep mistisisme cahaya pada puisi Ya Allah, Mereka Berperang karya Frans Nadjira. Selain tiga permasalahan di atas, analisis ini juga membahas permasalahan yang mencakup (1) mistisisme Islam dan perkembangan puisi sufi Indonesia modern, (2) konsep cahaya dalam tradisi mistisisme Islam. Pembahasan dua persoalan ini dalam rangka untuk merunut alur pikir analisis ini sehingga pembaca bisa lebih memahami konteks pembahasan dalam analisis ini.
Perlu ditegaskan di sini bahwa mistisisme yang dimaksud adalah dimensi esoteris dari makna cahaya dalam tradisi sufi. Pengertian ini disandarkan pada penjelasan Annimarie Schimmel (2000: 1-2) yang menjelaskan, mistisisme adalah arus besar kerohanian (dimensi esoteris) yang mengalir dalam suatu agama. Dalam khazanah mistisisme Islam (sufi), filosofi cahaya dipercaya mempunyai makna yang istimewa terkait dengan eksistensi Tuhan, yang oleh al-Ghazali dikatakan bahwa “Tuhan adalah Cahaya” (Schimmel, 2000: 122). Oleh karena itu, sastra sufi, pada akhirnya, banyak mengangkat cahaya sebagai metafora dan simbol untuk perlambangan dan simbolitas Tuhan. Tidak mengherankan bila simbol bulan, bintang, dan matahari sebagai antropomorfis alam, dalam tradisi tasawuf, mempunyai makna yang istimewa. Hal ini, misalnya, ada kaitannya dengan tradisi Islam, terutama kisah Nabi Ibrahim AS. dalam pencarian Tuhan yang unik, karena Tuhan sebagai Dzat sebelum ditemukan, Nabi Ibrahim AS. berprasangka bahwa Tuhan itu adalah Bulan dan Matahari.
Untuk bisa mengungkap konsep mistisisme cahaya, analisis ini menggunakan teori hermeneutika Paul Ricoeur, khususnya teori metafora dan simbol. Hermeneutika digunakan sebagai teori untuk mengungkapkan konsep filosofi cahaya yang terepresentasikan dalam puisi Ya Allah, Mereka Berperang. 
Oleh karena puisi yang dikaji adalah sastra (puisi) sufi, yaitu puisi yang membahas prinsip tauhid (keesaan Tuhan), prinsip ke-Ada-an Tuhan, prinsip fana-baka, prinsip penetrasi Tuhan, dan kehendak bebas manusia, serta derivasi yang berkaitan dengan prinsip-prinsip tersebut (Schimmel, 1986; Nasr, 1980), maka pemaknaan tekstual dalam analisis ini didasarkan pada kerangka mistisisme Islam (sufi). Artinya, pemaknaan filosofi cahaya didasarkan pada terminologi tasawuf yang berdasarkan pandangan atau persepsi filosofi Islam dalam memaknai cahaya sebagai manifestasi Tuhan.
  
1.3 TUJUAN ANALISIS
Secara teoretis, tujuan analisis ini adalah pertama, mengkaji dan mendeskripsikan konsep cahaya yang terdapat pada metafora dan simbol dalam puisi Ya Allah, Mereka Berperang karya Frans Nadjira. Kedua, mendeskripsikan pemikiran filosofis tentang cahaya dalam terminologi mistisisme Islam sebagai dunia yang diacu (reference) dari puisi Ya Allah, Mereka Berperang karya Frans Nadjira. Ketiga, selanjutnya, analisis ini diharapkan dapat memberikan keragaman wacana seputar aplikasi teori hermeneutika Paul Ricoeur, khususnya mengenai teori metafora dan simbol dalam memaknai karya puisi sufi.
Analisis ini membahas mistisisme cahaya dalam puisi sufi, khususnya pada metafora dan simbolnya. Oleh karena itu, analisis ini mengambil perspektif tekstual, yaitu hermeneutika Paul Ricoeur sebagai teori yang digunakan untuk mengungkap makna. Pilihan tema mistisisme cahaya dalam analisis ini secara praktis diharapkan memberikan kontribusi pemikiran penting bagi pembaca dalam melihat dan memersepsi khazanah puisi-puisi sufi Indonesia, yang saat ini perpuisian sufi Indonesia banyak dimaknai sebagai puisi yang mmembahas ketauhidan dan perjalanan spiritual “aku-lirik” dalam mendekatkan dan menyatukan hamba dengan Tuhannya. Padahal, cahaya sebagai bagian mistisisme Islam juga mendapat tempat yang istimewa, misalnya, dapat dilihat pada pemikiran falsafinya Suhrawardi dan al-Ghazali yang membahas cahaya dalam perspektif Islam. Jadi, konsep cahaya sebagai mistisisme, yang terdapat dalam sastra sufi yang dikaji dalam analisis ini, diharapkan dapat memperluas cakrawala pembaca dalam menafsirkan puisi-puisi sufi Indonesia.

1.4 LANDASAN TEORI
1.4.1 KONSEP INTERPRETASI TEKS PAUL RICOEUR
Hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoeur, 1981: 43), dan (Palmer, 2003: 8) menjelaskan bahwa dua fokus dalam kajian hermeneutika mencakup; (1) peristiwa pemahaman tentang teks, (2) persoalan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi. Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeneutika adalah “pemahaman (understanding) pada teks”.  
Ricoeur (1981: 146) menjelaskan bahwa teks adalah sebuah wacana yang dibakukan lewat bahasa. Apa yang dibakukan oleh tulisan adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan. Di sini, terlihat bahwa teks merupakan wacana yang disampaikan dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana, yang dituliskan dalam hermeneutika Paul Ricoeur, berdiri secara otonom, bukan merupakan turunan dari bahasa lisan, seperti yang dipahami oleh strukturalisme.
Teks sebagai wacana yang dikembangkan Ricoeur ini mengacu pada dialektika antara peristiwa dan makna, yaitu peristiwa sebagai proposisi yang dianggap sebagai fungsi predikatif yang digabung dengan identifikasi. Dengan demikian, wacana diaktualisasikan sebagai peristiwa; semua wacana dipahami sebagai makna. Makna atau sense berarti menunjukkan pada isi proposisional, seperti sintesis dua fungsi: identifikasi dan predikasi. Penekanan dan pelampauan peristiwa dalam makna inilah yang menjadi ciri utama wacana (Ricoeur, 1976: 12).
Konsep makna ini mengacu pada apa yang dilakukan pembaca dan apa yang dilakukan kalimat. Makna teks sebagai proposisi merupakan sisi “objektif” makna ini. Sisi “objektif” wacana itu sendiri bisa dijelaskan dengan dua cara berbeda. Boleh diartikan “apa” wacana dan “tentang apa” wacana. “Apa”- nya wacana adalah sense dan “tentang apa” wacana adalah reference-nya. Jika sense itu imanen terhadap wacana dan objektif dalam arti ideal, sedangkan reference mengungkapkan gerak ketika bahasa melampaui dirinya sendiri. Dengan kata lain, sense berkolerasi dengan fungsi identifikasi dan fungsi predikatif dalam kalimat, dan reference menghubungkan bahasa dengan dunia (Ricoeur, 1976: 19 & 1981: 167-168).
Dalam hal ini, Ricoeur menekankan kajian hermeneutikanya pada pemahaman teks (otonomi semantik teks), yang interpretasinya didasarkan pada teks. Oleh karena itu, konsep ini membentang prosedurnya di dalam batas seperangkat makna yang telah memutuskan tali-talinya dengan psikologi pengarangnya (Ricoeur, 1976:30).
Otonomi semantik teks tidak hanya ditandai oleh eksteriorisasi arti, tetapi juga terbongkarnya dunia bersama secara umum pada suatu kegiatan berbicara dan digantinya subjektivitas pembicara dengan sebjektivitas teks. Otonomi semantik teks, yakni terbebaskannya bahan tertulis (teks sebagai wacana)  dari kondisi dialogis wacana yang merupakan akibat paling penting dari tulisan dan mempunyai konsekuensi hermeneutikal yang penting, yakni penjarakkan, yang mempunyai fungsi hermeneutika, bukan produk metodologi, tetapi justru membentuk fenomena teks sebagai tulisan. Bahkan, ia juga merupakan kondisi interpretasi (Poespoprodjo, 2004: 123).
Oleh karena itu, Ricoeur mengatakan bahwa pandangan acuan dalam dialog ini yang dihancurkan oleh tulisan. Di sini, teks tulisan membebaskan maknanya dari pengawasan intensi mental, dan membebaskan acuannya dari batas-batas acuan situasional. Penunjukkan acuan dalam teks ini yang menyebabkan kelahiran dunia, yaitu dunia acuan. Bagi Ricoeur, dunia ini adalah kumpulan acuan yang dibuka oleh setiap jenis teks, deskriptif, atau poetik yang dibaca, pahami, dan cintai. Pemahaman (understanding) terhadap teks berarti, pertama, menyisipkan di antara predikat situasi kita semua makna yang membuat welt dari unwelt kita. Perluasan cakrawala kita inilah yang mengizinkan kita membicarakan acuan-acuan yang dibuka oleh teks itu, atau dunia yang dibuka oleh tuntutan referensial sebagian besar teks (Ricoeur, 1976: 37). Kedua, membiarkan karya (teks) memperluas cakrawala pemahaman diri (pembaca) (Ricouer, 1981: 178).
Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa kerangka analisis hermeneutika Paul Ricoeur beroperasi pada teks sebagai dunia otonom. Teks mempunyai dunianya sendiri yang terbebas dari beban psikologi mental pengarangnya. Teks adalah bahasa tulis yang memenuhi dirinya sendiri, tanpa bergantung pada bahasa lisan. Oleh karean itu, interpretasi bergerak pada dua wilayah, yaitu “ke dalam” sense, yang berupa “penjelasan” (explanation) terhadap dunia dalam teks dan “ke luar” reference, yang berupa “pemahaman” (understanding) terhadap dunia luar yang diacu oleh teks. Penjelasan terhadap teks bersifat objektivasi, sedangkan pemahaman bersifat subjektivasi.   
     
1.4.2 TEORI METAFORA
Metafora, kata Monroe, adalah “puisi dalam miniatur”. Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makna figuratif dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit. Dalam tradisi positivisme logis, perbedaan antara makna eksplisit dan implisit diperlakukan dalam perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif, yang kemudian dialihkan menjadi perbedaan menjadi vokabuler denotasi dan konotasi. Denotasi dianggap sebagai makna kognitif yang merupakan tatanan semantik, sedangkan konotasi adalah ekstra-semantik. Konotasi terdiri atasonotasi terdiri atas seruan-seruan emotif yang terjadi serentak yang nilai kognitifnya dangkal. Dengan demikian, arti figuratif suatu teks harus dilihat sebagai hilangnya makna kognitif apa pun. Karya sastra dibuka oleh saling berpengaruhnya makna-makna ini, yang memusatkan analisisnya pada desain verbal, yaitu karya wacana yang menghasilkan ambiguitas semantik yang mencirikan suatu karya sastra. Karya wacana inilah yang dapat dilihat dalam miniatur dalam metafora (Ricoeur, 1976: 43).
Dalam retorika tradisional, metafora digolongkan sebagai majas yang mengelompokkan variasi-variasi dalam makna ke dalam pengalaman kata-kata, atau lebih tepatnya proses denominasi. Aristoteles, dalam Poetic’s-nya, menjelaskan bahwa metafora adalah “penerapan kepada suatu benda nama yang termasuk sesuatu yang lain, interferensi yang terjadi dari jenis ke jenis spesies, dari spesies ke jenis, dari spesies ke spesies, atau secara proporsional”. Tujuan majas adalah mengisi tempat kosong semantik dalam kode leksikal atau menghiasi wacana dan membuatnya lebih menyenangkan. Oleh karena itu, metafora memiliki ide lebih banyak dari kata untuk mengungkapkan kaya itu, metafora akan meregangkan makna kata-kata yang dimiliki melampaui pemakaian biasanya (Ricoeur, 1976: 45).
Pada teori modern, metafora berhubungan dengan semantik (proposisi) sebelum berhubungan dengan semantik kata, berarti dalam tuturan, merupakan fenomena predikasi (bukan denominasi). Metafora adalah hasil ketegangan antara dua kata dalam suatu tuturan metaforis (Ricoeur, 1976:47). Lebih lanjut, Paul Ricoeur (1977: 84) menanggapi bahwa metafora adalah sebuah kalimat atau bentuk ekspresi lainnya, yang kata-katanya digunakan secara metaforis.
Makna metafora akan diperoleh melalui, sedikitnya proposisi (kalimat) sebagai unsur terkecil wacana, dan bahasa mempunyai makna bila dipergunakan dalam kalimat. Demikian halnya dengan puisi, puisi akan menemukan eksistensinya setelah diapresiasi dalam konstruksi proposisinya dan wacana.
Konsep metafora menurut Paul Ricoeur dapat disimpulkan; (1) metafora terjadi pada wilayah interpretasi dalam satu proposisi yang ditandai oleh unsur predikasi. Metafora merupakan ketegangan (tension) pada dua dunia (kata) yang berbeda (difference) karena adanya keserupaan (resemblance) yang ditandai oleh kehadiran predikasi-universal. Hal ini mengakibatkan ketegangan dalam metafora sesungguhnya tidak dapat diparafrasekan, artinya kalaupun bisa, parafrasa semacam ini tidak terbatas dan tidak mampu menjelaskan makna inovatifnya atau makna tambah (surplus meaning); (2) metafora bukanlah hiasan wacana. Metafora memiliki lebih dari hanya nilai emotif karena metafora memberi informasi baru. Metafora hakikatnya menceritakan realitas baru yang dikonstruksi oleh wacana.

1.4.3 TEORI SIMBOL
Kata “simbol” yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti “menghubungkan atau menggabungkan”. Simbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang terstruktur polisemik adalah ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Ricoeur merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer, harfiah, yang sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama (Poespoprodjo, 2004: 119).
Ricouer mendefinisikan simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya ada sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan,  makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama. Pembebasan ekspresi dengan sebuah makna ganda ini mengatakan dengan tepat wilayah hermeneutika (Bleicher, 2003: 376).
Kajian terhadap simbol berjalan dengan dua kesulitan untuk masuk ke struktur gandanya; pertama, simbol memiliki bidang penelitian yang terlalu banyak dan terlalu beraneka ragam. Misalnya, ada tiga bidang yang dibahas Ricoeur; (1) psikoanalisis, misalnya, berhubungan dengan mimpi-mimpi, gejala-gejala lain, dan objek budaya yang dekat dengan mereka sebagai penyimbolan konflik psikis yang dalam; (2) sastra (puisi), misalnya, simbol sebagai imaji istimewa suatu puisi; (3) kesejarahan agama, yang diikat kepercayaan-kepercayaan suci, misalnya simbol-simbol dalam kitab suci.
Kedua, konsep simbol mendekatkan pada dua dimensi atau dua semesta wacana, yaitu satu tatanan linguistik dan tatanan nonlinguistik. Simbol linguistik dibuktikan oleh fakta bahwa simbol dibangun oleh semantik simbol, yaitu teori yang menjelaskan struktur simbol berdasarkan makna signifikasi.
Kompleksitas eksternal simbol ini dapat dijelaskan oleh teori metafora dengan tiga langkah; (1) mengidentifikasi benih semantik yang khas setiap simbol betapapun berbedanya masing-masing, berdasarkan struktur makna yang operatif dalam tuturan metaforis; (2) berfungsinya metaforis bahasa akan membebaskan kita untuk memisahkan strata nonlinguistik simbol, penyebarannya melalui metode kontras; (3) sebagai imbalannya, pemahaman baru mengenai simbol ini akan menimbulkan perkembangan yang lebih jauh dalam teori metafora yang jika tidak tersembunyi. Dengan cara ini, teori simbol akan mengizinkan kita menyempurnakan teori metafora (Ricoeur, 1976: 52).
Ciri makna semantik simbol diindentifikasi dengan melihat hubungan makna harfiah dengan figuratif dalam tuturan metaforis. Simbol dikaitkan dengan bahasa sebab simbol muncul jika ia diujarkan, sedangkan metafora adalah pelaku ulang yang membahas aspek simbol. Di sini teori metafora berguna mengungkap simbol sehingga metafora memahami pelanggaran semantik pada kalimat menjadi model untuk perluasan makna. 
Simbol tidak bisa diatasi secara tuntas oleh bahasa konseptual, ada lebih banyak simbol daripada persamaan konseptualnya. Untuk mengidentifikasi sisi nonsemantik simbol dengan metode kontras, maka kita setuju menyebut semantik ciri-ciri simbol yang (1) memungkinkan analisis linguistik dan analisis logis berdasarkan makna dan interpretasi, dan (2) mempunyai persamaan metafora yang sesuai. Oleh karena itu, sesuatu dalam simbol tidak sesuai dengan metafora karena kenyataan ini menolak transkripsi linguistik, semantik, atau logik (Ricouer, 1976: 56).
Simbolisme hanya bekerja ketika strukturnya ditafsirkan. Hermeneutika minimal diperlukan demi berfungsinya simbolosmi apa pun. Akan tetapi, penjabaran linguistik ini tidak menekankan pada apa yang disebut ketaatan pada simbolisme yang khas semesta suci. Penafsiran suatu simbolisme, bahkan, tidak dapat terjadi jika karya mediasinya tidak disahkan oleh hubungan langsung antara makna dalam hierofani itu di bawah pertimbangan. Kesucian alam membuka dirinya dalam mengatakan dirinya secara simbolik (Ricoeur, 1976: 68).

1.4.4 METODE ANALISIS
Pemaparan dalam analisis ini mengarah pada penjelasan deskriptif sebagai ciri khas penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Moleong, 2007: 6). Adapun metode, dalam studi sastra, memiliki ukuran keilmiahan sendiri yang ditentukan oleh karakteristiknya sebagai sistem (Chamamah-Soeratno, 1991: 16). Metode teoritis yang digunakan dalam analisis adalah teori metafora dan simbol dalam hermeneutika Paul Ricoeur.
Tahap penelitian yang akan dilakukan dalam analisis ini adalah sebagai berikut:
1.      melakukan pembacaan cermat terhadap objek analisis yang ditetapkan;
2.      melakukan pemilihan sampel sebagai data yang akan digunakan untuk analisis, yaitu puisi sufi yang mengandung metafora dan simbol cahaya sebagai tematik analisis;
3.      melakukan pengumpulan data-data tambahan yang mendukung analisis ini. Oleh karena penelitian kualitatif, maka data utamanya adalah kata-kata atau bahasa (Moleong, 2007: 157), maka data-data pendukungnya berupa dokumen (buku-buku pustaka) yang mendukung analisis ini.
4.      melakukan analisis secara cermat terhadap metafora dan simbol cahaya yang terdapat dalam sajak-sajak yang dijadikan sampel dalam analisis dengan menggunakan paradigma teori hermeneutika Paul Ricoeur. Adapun langkah kerja analisis mencakup: pertama, langkah objektif (penjelasan), yaitu menganalisis dan mendeskripsikan aspek semantik pada metafora dan simbol berdasarkan pada tataran linguistiknya. Kedua, langkah reflektif (pemahaman), yaitu menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu (referrence), yang pada aspek simbolnya bersifat non-linguistik, langkah ini mendekati tingkat ontologis. Ketiga, langkah filosofis, yaitu berpikir menggunakan metafora dan simbol sebagai titik tolaknya. Langkah ini disebut juga dengan langkah eksistensial atau ontologi, pemahaman pada tingkat being atau keberadaan makna itu sendiri, yaitu mendeskripsikan analisis puisi “Ya Allah Mereka Berperang”.
5.      merumuskan kesimpulan atas analisis yang telah dilakukan.
  
II PEMBAHASAN

Dilihat dari cara kerjanya, hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoeur, 1981: 43). Apa yang dimaksud Ricoeur tentang teks, pada dasarnya, adalah setiap wacana yang dibakukan lewat tulisan, dan apa yang dibakukan lewat tulisan adalah wacana yang diucapkan. Akan tetapi, karena teks ditulis, tidak diucapkan, maka pembakuan melalui tulisan menempati diri dalam posisi ucapan.
Hal di atas menegaskan bahwa teks benar-benar menjadi baru ketika teks langsung membutuhkan apa yang dimaksudkan oleh wacana ke dalam huruf-huruf tertulis. Teks memisahkan dua hal, yaitu tindakan menulis dan membaca. Penulis tidak hadir pada saat teks dibaca dan pembaca tidak hadir pada saat teks tertulis. Oleh karena itu, teks menjadi mediasi dalam pemahaman. Analisis hermeneutika Ricoeur bergerak pada wilayah teks yang otonom (otoritas teks) sehingga pemahaman terhadap teks terhindar dari hubungan intersubjektif (intense pengarang). Dalam hal ini, intensi pengarang tidak lagi tampil seperti dikehendaki pada kondisi awal, saat teks diciptakan dan dihasilkan. Akan tetapi, pemahaman dalam interpretasi terhadap teks harus dibangun kembali dengan makna teks itu sendiri (otonomi semantic teks).
Tugas hermeneutika adalah (1) mencari di dalam teks itu sendiri, dinamika yang diarahkan oleh strukturasi karya atau dinamika internal teks (sense); (2) mencari di dalam teks kemampuan karya untuk memproyeksikan diri yang merupakan halnya atau pesan teks itu (reference). 
Pemaknaan menurut Ricouer adalah suatu dialektika antara penjelasan dan pemahaman. Penjelasan merupakan analisis struktural yang dilakukan terhadap karya dengan melihat hubungannya pada dunia yang ada di dalam teks. Model ini menjelaskan sisi objektivasi sebagai ranah ilmu alam. Sementara itu, pemahaman merupakan analisis dengan melihat rujukan yang ada di luar teks yang disebut sebagai makna kontekstual. Model ini menjelaskan sisi subjektivasi sebagai ilmu kemanusiaan. Di sini, terlihat bahwa hasil pemaknaan dalam hermeneutika adalah pemahaman diri (refleksi), yaitu membiarkan teks (objektif) dan dunianya memperluas cakrawala pemahaman “aku” pembaca (subjektif) tentang diri “aku” sendiri (Ricoeur, 1981: 177).
Menganalisis metafora pada karya sastra (puisi) berarti berangkat dari analisis metafora kepada teks pada level “arti” (sense) dan penjelasan atas “arti”, kemudian dari teks kepada metafora pada level interpretasi. Analisis metafora di bawah ini bergerak pada dua kajian di atas yang dilakukan secara simultan. Hal ini dimaksudkan agar keutuhan makna sajak dapat diungkap sehingga pemahaman atas makna sajak bisa menyeluruh. Adapun konsep analisis metaforanya mencakup ketegangan (tension) dalam satu baris dalam bait yang komposisinya membentuk proposisi; ketegangan antarbaris atau antarproposisi, dan ketegangan anatarbait sehingga membentuk satu kesatuan wacana. Hal ini dilakukan karena menurut Ricoeur (1981: 170) sebuah kata mendapatkan makna metaforisnya dalam konteks-konteks (wacana) yang spesifik. Dalam konteks tersebut, sebuah kata diperlawankan dengan kata-kata lain yang dipahami secara literal minimal pada konteks preposisi dengan adanya kehadiran unsur predikasi.
Analisis simbol pada dasarnya adalah elaborasi lebih mendalam terhadap analisis metafora yang telah dilakukan. Oleh karena itu, menurut Ricoeur (1976: 43) metafora dapat bertugas sebagai analisis persiapan yang mengarah pada analisis teori simbol. Sebaliknya teori simbol akan membiarkan meluaskan makna dengan membebaskan penafsir untuk masuk di dalamnya, tidak hanya makna ganda nonverbal. Di sinilah, terlibat bahwa makna dalam metafora akan diperluas lagi dengan teori simbol.
Analisis terhadap simbol dalam karya sastra (puisi) berpijak pada (1) mengidentifikasi benih-benih semantik yang khas dari setiap simbol, betapapun berbedanya masing-masing; (2) menganalisis berfungsinya metaforis bahasa yang akan membebaskan simbol untuk memisahkan diri dari strata nonliguistik dari simbol ini akan menimbulkan perkembangan yang lebih jauh dalam teori metafora, yang tidak akan tetap tersembunyi (Ricoeur, 1976: 53).
Model yang digunakan pada analisis simbol ini adalah menginventarisasikan simbol-simbol cahaya dalam sajak yang dianalisis, yaitu simbol-simbol yang merepresentasikan cahaya menjadi titik fokusnya. Simbol cahaya yang dianalisis adalah simbol yang secara nyata banyak digunakan dan menjadi kerangka filosofis dalam sajak. Selanjutnya, agar sajak tetap diletakkan pada konteks puisi yang membangunnya. Dengan demikian, makna simbol sebagai representasi makna semantik dan nonsemantiknya dapat diungkapkan dalam kesatuan makna puisi sebagai wacana.  
             
2.1  Analisis dan Hasil Pembahasan puisi “Ya Allah, Mereka Berperang” karya Frans Nadjira

Ya Allah, Mereka Berperang 

(1)   Ya Allah, mereka berperang
Mereka bertempur. Pucuk manis bunga kurmaku
gugur tertebas sayap-sayap elang timah. Bum!
Desing angin pasir
Berpusing menerbangkan panas ke angkasa.

(2)   Sukma teluk telusuri kembali awal asalmu
Setiap lekuk                                  Tepi air
Mengalir dalam darahmu              Dalam sumsumku
Langit bercermin di laut dalam. Mana wajah mentari.
Engkau janjikan daratan luas
Tempat anakmu bermain di pangkuan
hangat bumi. Bumi kita
tempat berteduh lebah-lebah kasih.

(3)   Mana payung yang kembang di cerah cuaca
Yang tangkainya kita pegang bersama
Mana sampan yang hilir di madu sungai
Yang dayungnya kita genggam bersama. Bulan
Lingkar cahayamu tak lagi menjadi kalung langit.

(4)   Gunung, tulang, lengking angkasa
kapan akhir pedih ini? Di lembah mana
kau sembunyikan anak-anak kami
yang terlepas dari susu ibunya. Sungai kering
kehidupan yang batu-batunya berbenturan
menghantam langit
memadamkan cahaya bintang.

(5)   Ya Allah, mereka berperang. Siapa yang tersisa
Menghitung kunang-kunang di antara bau anyir
malam. Bau kerang yang kulitnya terbuka menganga.
Dan pada lambaian terakhir tangan-tangan pucat
Embun menciptakan aroma manis kurma
Yang tak lagi ditemukan tempat tumbuhnya.

2.1.1        Metafora dalam Sajak “Ya Allah, Mereka Berperang”
Judul “Ya Allah, Mereka Berperang” menyiratkan suatu arti tentang kekecewaan, keluhan pada suatu keadaan. Kata “berperang” berhubungan dengan “kehancuran” karena suatu hal. “Berperang” berarti “bermusuhan”, yaitu “berperang karena suatu hal yang menyebabkan kehancuran”. Apa yang menyebabkan kehancuran ini biasanya berhubungan dengan permusuhan, misalnya perbedaan pendapat, selalu ingin menang sendiri (egois), perebutan wilayah sebagai wahana untuk mencapai suatu kekuasaan. Dengan demikian, judul “Ya Allah, Mereka Berperang” menyangkut pada kekecewaan terhadap kehancuran yang ditujukan untuk mencapai suatu kekuasaan. Judul ini menyiratkan adanya keluhan pada keadaan yang telah dilakukan oleh mereka yang menyebabkan peperangan.

(1)   Ya Allah, Mereka Berperang
..............................................

Baris pertama pada bait pertama sajak “Ya Allah, Mereka Berperang” memperlihatkan satu konstruksi proposisi yang terbangun atas identifikasi-singular “sesuatu” belum dijelaskan secara eksplisit. Baris di atas memperlihatkan ide wacana, yaitu sesungguhnya apa yang diucapkan “aku-lirik” adalah “mereka berperang”. Apa yang dimaksudkan dengan “mereka berperang” sebagai subjek-pokok oleh “aku-lirik” dijelaskan pada baris selanjutnya.

(1)   Mereka bertempur. Pucuk manis bunga kurmaku
gugur tertebas sayap-sayap elang timah. Bum!
.........................................................................
Baris kedua dan ketiga dari bait pertama di atas merupakan kelanjutan atas apa yang dimaksud “mereka berperang” yang menunjukkan satu proposisi, yaitu “mereka bertempur”. “Pucuk manis bunga kurmaku gugur tertebas sayap-sayap elang timah (dan) Bum!” Ketegangan (tension) konstruksi proposisinya sebagai metafora-pernyataan (statement-metaphor) terjadi karena unsur “predikasinya” yang menghubungkan dua interpretasi dunia yang melahirkan absurditas, yaitu “Allah sebagai Dzat yang abstrak” untuk tempat berlindung dari segala mara bahaya. Akibat mereka bertempur, pucuk manis bunga kurmaku hancur tertebas sayap-sayap elang timah, semuanya telah lebur tak berbentuk.

(1)   ..............................
Desing angin pasir
Berpusing menerbangkan panas ke angkasa.
......................................................................

              Bait di atas menyatakan hubungan yang selaras antara “pucuk manis kurmaku gugur tertebas sayap-sayap elang timah” dengan “desing angin pasir” yaitu menunjuk pada kegelapan, kematian, dan kehancuran. Lebih ditegaskan lagi pada baris selanjutnya “berpusing menerbangkan panas ke angkasa”. Oleh karena pada baris pertamanya menunjukkan keterangan, maka ungkapan “berpusing menerbangkan panas ke angkasa” hanyalah metafora kata yang bersifat figuratif-ornamental. Ketegangannya terjadi pada semantik kata, bukan pada semantik kalimat, yaitu “panas” yang diserupakan dengan “timah”.
              Keadaan terasa semakin tidak nyaman karena desing angin pasir, berpusing menerbangkan panas ke angkasa.

(2)   Sukma teluk telusuri kembali awal asalmu
Setiap lekuk                                  Tepi air
Mengalir dalam darahmu              Dalam sumsumku
..................................................................................

Bait kedua di atas, terbangun atas satu proposisi yang terdiri atas “sukma teluk” sebagai identifikasi-singular, “telusuri kembali awal asalmu” sebagai predikasi-universal. “Setiap lekuk// Tepi air, mengalir dalam darahmu, dalam sumsumku” sebagai atribut-penjelasan atas asal kelahiran.

                        (2)......................................................................................
                              Langit bercermin di laut dalam. Mana wajah mentari.
                              .....................................................................................

            Baris keempat pada bait kedua ini menunjukkan fungsinya sebagai atribusi keterangan tempat kejelasan pada langit untuk bercermin dan mencari di-“mana” sebagai predikasi-universal, “wajah mentari” sebagai atribusi-objektivasi.
            Konsep metafora pada baris ini menegaskan bahwa “cahaya langit” dari laut adalah cahaya yang hakiki.

                        (2)...............................................
                              Engkau janjikan daratan luas
                              Tempat anakmu bermain di pangkuan
                              hangat bumi. Bumi kita
                              tempat berteduh lebah-lebah kasih.
                              ......................................................

Kemudian “cahaya” itu bermanfaat bagi “engkau (yang) men-janjikan daratan luas” sebagai “tempat anakmu bermain di pangkuan hangat bumi”. “Bumi” menunjukkan fungsinya sebagai atribusi-keterangan yang merupakan “bumi kita tempat berteduh lebah-lebah kasih”. Kata “lebah-lebah kasih” di sini merupakan metafora dari orang-orang yang perlu dikasihi, orang lemah.

(3)   ..............................
Mana payung yang kembang di cerah cuaca
Yang tangkainya kita pegang bersama
............................................................

Pada baris di atas, proposisinya menunjuk pada atribusi-keterangan keadaan: “Mana payung yang kembang di cerah cuaca//Yang tangkainya kita pegang bersama”. Metafora pada proposisi ini menunjuk pada metafora-pernyataan (statement-metaphor) yang menghadirkan ketegangan antara “cuaca” dengan “tangkai” yang melahirkan dunia yang absurd karena “cuaca” dan “tangkai” adalah dua realitas yang berbeda. Pada tataran leksikal, “cuaca” adalah suatu keadaan langit, sedangkan “tangkai” adalah suatu alat tumpu. “Mana payung yang kembang di cerah cuaca//Yang tangkainya kita pegang bersama” berarti kita harus tetap mencari tumpuan kita yang karena dengan mempertahankan tempat tumpuan kita, maka kita akan tetap bisa bersama. Kebersamaan itu berlanjut pada baris berikutnya.

(3)................................................
Mana sampan yang hilir di madu sungai
Yang dayungnya kita genggam bersama.
..............................................................

Baris di atas, sama dengan baris sebelumnya, proposisimya menunjuk pada atribut-keterangan keadaan: “Mana sampan yang hilir di madu sungai”. Yang diperjelas dengan “Yang dayungnya kita genggam bersama”. Proposisi ini terbangun atas identifikasi-singular: “sampan yang hilir di madu sungai” dan predikasi-universal: “yang dayungnya kita genggam bersama”. Metafora pada proposisi ini menunjuk pada metafora-pernyataan (statement-metaphor) yang menghadirkan ketegangan antara “sungai” dengan “dayung” yang melahirkan dunia yang absurd karena “sungai” dan “dayung” adalah dua realitas yang berbeda. Karena “dayung” di sini akan bermakna lain jika tidak disertai konteks kalimatnya.

(3).............................................. Bulan
Lingkar cahayamu tak lagi menjadi kalung langit.

Baris ini menunjukkan bahwa orang yang bisa memahami hakikat
“langit”, maka kehidupan orang tersebut akan dilimpahi “bulan”, yaitu hakikat cahaya mutlak dari alam semesta ini.
“Lingkar cahayamu tak lagi menjadi kalung langit”, yang berarti lingkar cahaya bulan itu tak lagi menjadi kalung langit. “Bulan” sebagai identifikasi singular,”lingkar cahayamu” sebagai predikasi-universal, dan “tak lagi menjadi kalung langit” sebagai atribusi-keterangan keadaan.

(4)   .........................................
Gunung, tulang, lengking angkasa
kapan akhir pedih ini? 
..................................

Baris di atas menjelaskan bahwa “aku lirik” bertanya pada gunung, tulang, lengking angkasa/kapan pedih ini akan berakhir?
Di sinilah tercipta suatu ketegangan (tension) antarproposisi (antarbaris), “Gunung, tulang, lengking angkasa” sebagai representasi konsep “kegelapan” ternyata mampu membuat mereka pedih. Dengan demikian, metafora terjadi antarbaris atau proposisi, yaitu ketegangan antara “kegelapan” dengan “kepedihan”, karena kegelapan adalah dunia yang sunyi dan tidak berpenghuni, sedangkan kepedihan adalah dunia kesedihan yang mengharu-biru.
Hal di atas memperlihatkan bahwa makna asosiasi kata “kegelapan” dan “kepedihan” sudah tidak bergantung pada aturan-aturan semantis maupun sintaksisnya yang menentukan penggunaan literalnya, tetapi sudah tunduk pada aturan-aturan lain yang “ditaati” oleh anggota komunitas bahasa.

(4)....................... Di lembah mana
     kau sembunyikan anak-anak kami
      yang lepas dari susu ibunya.

Bait di atas menyatakan hubungan yang selaras antara “anak-anak” dengan “susu ibunya”, yaitu menunjuk pada kedamaian, kasih sayang.
Pada bait di atas menunjukkan atribut-keterangan “Di lembah mana” yang menunjukkan metafora-kata (word-metaphor) sebagai figurasi-ornamental, yang oleh Ricoeur disebut juga dengan metafora mati atau metafora inventif (Ricoeur, 1976: 43), yaitu metafora yang tidak menciptakan perluasan makna tambah (surplus meaning). “Di lembah mana” menunjuk pada nama suatu tempat yang membutuhkan sebuah pilihan, lembah yang di sana atau lembah yang di sini. Sedangkan “anak-anak kami” dan “susu ibunya” adalah merupakan aku lirik.

(4)........................... Sungai kering
kehidupan yang batu-batunya berbenturan
      menghantam langit
      memadamkan cahaya bintang.

Kemudian, “cahaya” itu juga bisa bermanfaat bagi “sungai kering kehidupan yang batu-batunya berbenturan menghantam langit”. Di sinilah, semakin terlihat bahwa “cahaya” pada bait ini bukanlah cahaya yang sebenarnya, tetapi “cahaya” sebagai esensi yang keberadaannya sangat berarti bagi “yang hidup” dan “yang mati”. Dalam tradisi Islam, konsep “cahaya” ini merujuk pada “doa”, yaitu segala permintaan pada Tuhan setelah berserah diri pada-Nya agar selalu ditunjukkan jalan yang baik. Konsep “ditunjukkan” inilah yang memersepsi “doa” sebagai “cahaya Tuhan” yang eksistensinya bisa menembus ruang dan waktu, tidak terkecuali ruang dan waktu yang tidak bisa diindera: kehidupan akhirat sebagai tempat “memadamkan cahaya bintang”.
                 Dengan demikian, reference pada bait kedua ini, mengacu pada dunia tentang pentingnya eksistensi “cahaya yang lahir dari bintang” sebagai suatu esensi kehidupan manusia, baik untuk yang hidup dan mati. “Cahaya” yang dimaksud adalah “doa” sebagai representasi petunjuk atas keimanan manusia pada Tuhan yang akan bisa menolong dan  menunjukkan jalan dan kehidupan manusia, dunia, dan akhirat.

(5)   Ya Allah, mereka berperang. Siapa yang tersisa
...........................................................................

Baris kelima pada bait pertama di atas adalah proposisi yang mengungkapkan kesedihan “aku lirik” atas peperangan yang telah terjadi. Dan “Siapa yang tersisa” menunjukkan bahwa banyak sekali korban yang meninggal akibat berperang.

(5)..........................................................
      Menghitung kunang-kunang di antara bau anyir malam.
      .........................................................

Bait kedua pada baris kelima berhubungan dengan bait sebelumnya, bahwa korban yang telah berjatuhan  hanya tinggal “menghitung kunang-kunang di antara bau anyir malam”. Hubungan antara baris kedua dengan baris pertama, dalam satu proposisi di atas, mengandung ketegangan (tension) metafora yang disebabkan oleh kehadiran predikasinya “menghitung” sebagai penyerupa (resamblance). “Menghitung” itu bersifat aktif dan hanya bisa dilakukan oleh manusia sebagai sebuah kelas.
Adapun yang “dihitung” adalah “kunang-kunang di antara bau anyir malam” yang merujuk pada aktivitas “ragawi”, sedangkan manusia dikonstruksi oleh jiwa. Dengan demikian, penggambaran “kunang-kunang” sebagai metafora-kata (word-metaphor) dalam konteks proposisi di atas untuk menandaskan kesan “keduniawian” karena “kunang-kunang” adalah binatang yang mempunyai cahaya terang yang dapat menyinari malam.

(5).........................................................
      Bau kerang yang kulitnya terbuka menganga.
      Dan lambaian terahkir tangan-tangan pucat
      ........................................................

Pada baris di atas menunjukkan satu proposisi sebagai keterangan yang menjelaskan “hilangnya nyawa seseorang”. Dengan demikian, identifikasi-singularnya adalah “Bau kerang yang kulitnya terbuka menganga”; atribusi-pelengkap “Dan lambaian terakhir tangan-tangan pucat”.
Hal di atas memperlihatkan pada “bau kerang yang kulitnya terbuka menganga”, yaitu penggambaran tentang korban yang telah meninggal. “Dan lambaian terakhir tangan-tangan pucat”, berarti korban peperangan benar-benar telah pergi untuk selama-lamanya. Pada proposisi di atas tidak terdapat ketegangan metafora karena hubungan antarkatanya membentuk harmonisasi yang relevan dengan interpretasinya. Sense proposisi di atas adalah mengarah pada penggambaran atas kematian, yang terlihat pada kalimat yang digunakan, yaitu “Dan lambaian terakhir tangan-tangan pucat”.

(5)..................................................
      Embun menciptakan aroma manis kurma
      Yang tak lagi ditemukan tempat tumbuhnya.

Dua baris terakhir ini menunjukkan suatu keadaan bahwa orang yang bisa memahami hakikat “embun”, maka kehidupan orang tersebut akan dilimpahi “aroma yamg manis”. Pada konstruksi proposisinya, baris-baris di atas menunjukkan metafora-pernyataan (statement-metaphor), yang menghadirkan ketegangan antara “embun” dengan “aroma manis kurma” adalah dua realitas yang berbeda. Pada tataran leksikal, “embun” adalah cairan atau uap air yang berasal dari hasil penguapan, sedangkan “aroma manis kurma” adalah rasa kurma yang manis. Aroma manis kurma “yang tak lagi ditemukan tempat tumbuhnya”.
Dengan demikian, dunia yang diacu (reference) pada bait ini adalah tentang sisi lain dari susahnya menemukan “tempat tumbuhnya” “aroma manis kurma”. Hal ini disebabkan oleh “badan” sebagai dunia kegelapan manusia menjanjikan kehidupan yang menyenangkan, tetapi kehidupan yang seperti itu tidak terwujud.  

2.1.2        Simbol Cahaya Dalam Sajak “Ya Allah, Mereka Berperang”
Simbol Cahaya Langit
            Secara menyeluruh sense sajak “Ya Allah, Mereka Berperang” membahas tanda-tanda atau ayat yang diterima “aku-lirik”. Tanda-tanda yang abstrak itu selalu muncul diawali dengan “cahaya” di langit yang berupa pancaran.
            Pilihan “aku-lirik” pada “cahaya langit” sebagai ayat ini yang menjadikan langit mempunyai makna filosofis. Oleh karena itu, pemaknaan cahaya dan langit sebagai simbol harus dilakukan pada tingkat yang kedua, meluaskannya ke wilayah nonlinguistik dengan berpijak pada pemaknaan pertamanya, yaitu tataran linguistik.
            Pada tataran arti tekstual (sense), sajak “Ya Allah, Mereka Berperang”, mengungkapkan peristiwa tentang kesadaran transendental yang menyangkut pentingnya persatuan dalam kehidupan. Kehidupan ini tidaklah kita seorang, banyak orang-orang di sekitar kita, maka saling tolong menolong itu perlu demi menciptakan sebuah persatuan. Hidup ini haruslah berdamai, janganlah bermusuhan. Sukma teluk telusuri kembali awal asalmu adalah dimensi spiritual (keimanan) untuk mendekatkan diri dengan Tuhan. Kedekatan pada Tuhan ini akan menyebabkan hidup terjaga keseimbangannya antara dunia dan akhirat. Keseimbangan hidup ini kemudian diumpamakan sebagai berikut.

(2)   Sukma teluk telusuri kembali awal asalmu
Setiap lekuk                                 
Tepi air
Mengalir dalam darahmu             
Dalam sumsumku
Langit bercermin di laut dalam. Mana wajah mentari.
Engkau janjikan daratan luas
Tempat anakmu bermain di pangkuan
hangat bumi. Bumi kita
tempat berteduh lebah-lebah kasih.

Di sinilah, terlihat simbol cahaya sebagai energi yang esensial dari langit dan mentari (matahari) mempunyai makna yang filosofis. Bila dikaji lebih mendalam, dengan meletakkannya pada tradisi mistisisme Islam, sesungguhnya dzat yang terdapat dalam simbol langit dan matahari adalah cahaya. Simbol langit dan matahari, keduanya adalah realitas yang memberikan penerangan, manfaat, dan kehidupan di muka bumi ini karena unsur cahayanya.
Adapun unsur cahaya yang lain terdapat pada bait berikut.


(4)Mana payung yang kembang di cerah cuaca
Yang tangkainya kita pegang bersama
Mana sampan yang hilir di madu sungai
Yang dayungnya kita genggam bersama. Bulan
Lingkar cahayamu tak lagi menjadi kalung langit.

(5)Gunung, tulang, lengking angkasa
kapan akhir pedih ini? Di lembah mana
kau sembunyikan anak-anak kami
yang terlepas dari susu ibunya. Sungai kering
kehidupan yang batu-batunya berbenturan
menghantam langit
memadamkan cahaya bintang.

Bulan yang bercahaya adalah kesadaran transedental (keimanan) yang menjadi penerang untuk kehidupan dunia yang selalu diliputi  kegelapan.di sini, simbol langit berarti akan selalu dibawa “aku-lirik” untuk menerangi hidupnya di tengah kehidupan belantara dunia yang menyesatkan. Selain itu, dunia gelap dan menyesatkan juga dipresentasikan oleh dunia tubuh.
Hal ini menunjukkan ada dunia yang mewakili hal yang gelap, yaitu kehidupan duniawi dan hasrat manusia. Kehidupan duniawi adalah kegelapan materi eksternal karena berada di luar diri manusia, sedangkan naluri tubuh adalah materi internal karena menyatu dengan tubuh manusia. Naluri dari tubuh ini jika menguasai manusia maka perilakunya akan mementingkan kehidupan duniawinya. Dengan demikian, pemilihan hidup hedonis (kebendaan) seseorang itu digerakkan oleh naluri materi badaninya.
Keadaan dunia dalam sajak “Ya Allah, Mereka Berperang” diasosiasikan dengan “sungai kering” dan padamnya “cahaya bintang” yang tentunya menggambarkan kegelapan. Dunia yang saat ini sedang porak poranda oleh ulah manusia yang tak pernah bisa bersatu. Kegelapan dunia dimiliki oleh orang yang telah pergi meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Mereka tak akan mampu lagi menyaksikan cahaya bintang.
Dengan demikian, simbol langit merepresentasikan hakikat cahaya sebagai cahaya matahari, bulan, dan bintang, yaitu cahaya yang membangun eksistensi kodrati manusia bersama dengan alam. Dunia dan alam adalah kegelapan yang bisa memerangkap manusia pada kehinaan, maka hidup haruslah selalu berpijak pada kesadaran transedental, memprioritaskan cahaya langit.

2.1.3        Konsep Mistisisme Cahaya
Konsep mistisisme cahaya pada sajak “Ya Allah, Mereka Berperang” berangkat dari kesadaran “aku-lirik” tentang jiwa sebagai dimensi spiritual manusia. Dalam hal ini, “aku-lirik” memandang dunia ini sebagai hal yang terbangun atas dua entitas yang berlawanan (hitam-putih) dikotomik. dalam konteks makrokosmos, “aku-lirik” mempresepsi dunia sebagai kegelapan berlawanan dengan cahaya yang terang sebagai eksistensi dzat Tuhan.”cahaya” matahari, bulan, dan bintang adalah dzat Tuhan. 
Sementara itu, pada dimensi mikrokosmos, “aku-lirik” memandang bahwa manusia adalah makhluk yang terbentuk atas dua unsur jiwa dengan raga. Jiwa adalah representasi cahaya yang transendensi, sedangkan raga adalah representasi kegelapan materi. Oleh karena itu, “aku-lirik” dalam usahanya untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, ia “menyalakan cahaya langit” membuat jiwanya bercahaya karena kesadaran pada kegelapan dunia dan manusia, serta esensi Tuhan adalah cahaya. Hal ini memperlihatkan pandangan dunia “aku-lirik” yang dikotomik bahwa konsep transendentalnya hanya dibangun pada dimensi jiwa, sedangkan dunia dipersepsi sebagai realitas yang “gelap” akan menghalangi “cahaya” jiwa dalam mendekatkan diri pada Tuhan.

III KESIMPULAN

Cahaya dan langit dari sajak “Ya Allah, Mereka Berperang” merepresentasikan makna keimanan, yaitu sesuatu yang istimewa bagi kehidupan “aku-lirik” karena hakikat  dari kehidupan dunia peradapan adalah “kegelapan”. Tetapi sebenarnya manusia di sini tidak mau beriman, mereka membuat kerusuhan dengan berperang. Menciptakan dunia ini semakin gelap. Terdapat banyak sekali korban yang telah meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Kehidupan itu membutuhkan sebuah perdamaian, bukanlah permusuhan dan saling membunuh sesama.


IV DAFTAR PUSTAKA

Kurniawan, Heru. 2009. Mistisisme Cahaya. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

Nadjira, Frans. 2003. Jendela Jadikan Sajak. Yogyakarta: PADMA.
Poespoprodjo. 2004. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2005. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,
dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ricoeur, Paul. 1976. Teori Penafsiran Wacana dan Makna Tambah. Terj. Hani’ah. Jakarta: Depdikbud.

Schimmel, Annimarie. 2000. Dimensi Mistik dalam Islam. Terj. Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar